SIAPA YANG MENGONTROL UANG?

Siapa yang menentukan kurs uang? Tak ada ahli tata negara yang bisa menjawab ini. Karena teori tata negara, tak mengenal perihal pengaturan kurs uang. Ini pertanda kelemahan teori ‘negara’ –sebuah teori yang mulai muncul sejak abad pertengahan–. Karena ‘negara’ (state) terbukti tak mengatur uangnya sendiri. Modern state, sebuah fenomena dimana ‘negara’ kehilangan kontrol atas uangnya. Tak ada satupun ‘head of state’, mampu mengendalikan uang yang berlaku di negerinya sendiri.
Karena tiada satupun negara, memiliki kedaulatan atas uangnya. Currenzy, mata uang, ini baru dikenal sejak pasca Perang Dunia II. Bretton Wood, 1946, menjadi pertanda kemenangan ordo Bankir. Sejarah seolah berkata, Perang Dunia II dimenangkan kaum sekutu. Tapi realitasnya, perang itu menjadi kedigdayaan Bankir atas negara-negara. Karena setelah perang genosida itu, kaum bankir memberi titah, bahwa uang yang mereka terbitkan di setiap negara, tak lagi ada back up emas.
Sejak itu pula tiada lagi kekuasaan ‘state’ atas control uangnya sendiri. John F Kennedy mencoba mengambil alih. Tapi penembakan dirinya menjadi jawaban. Karena dia berusaha mengembalikan US Dollar pada kedigdayaan emas. Bukan kertas. Moammar Khadaffi, Presiden Libya, bersikeras agar kurs uang di negaranya dikendalikan sepenuhnya. Tapi ujungnya adalah proses kudeta bagi kekuasaannya.
Tapi yang jelas, fenomena modern state, betapa negara tak berdaya atas uangnya. Realitas ini tentu berseberangan dengan teori Jean Bodin, Soverignty. Bodin, dengan tegasnya bahwa ‘state’ haruslah berdaulat penuh. Tanpa anasir-anasir pengaruh apapun. Teori Bodin itu, dikeluarkan kala eranya kekuasaan Raja, banyak dipengaruhi oleh kelompok Gereja Katolik Roma. Maka teori ‘politique’ memaksa agar kekuasaan lepas dari ‘kehendak Tuhan’. Kekuasaan berada di tangan ‘kedaulatan manusia.’ Disitulah Rosseau mencetuskan seolah ‘Vox Populi Vox Dei’ lebih baik ketimbang ‘vox Rei Vox Dei’ (Suara Raja Suara Tuhan).
Tapi ujung dari ‘kedaulatan manusia’ adalah bentuk pergantian kedudukan. Pasca Revolusi Perancis, 1789, kekuasaan elit yang sebelumnya ditangan Raja dan Gereja Roma, terkudeta oleh kekuasaan kaum borjuis. Mereka inilah cikal bakal kaum bankir. Napoleon Bonaparte didapuk menjadi Kaisar Perancis, pasca mengkudeta Robbiespiere. Tapi proses kudeta itu dilakukan sekelumit elit oligarkhi. Mereka yang mendudukkan Napoleon sebagai pemimpin Perancis.
Kemudian Napoleon diberi 75 juta Franc, sebagai utang nasional. Tapi elit bankir itu membuat konsorsium perusahaan, bahwa urusan keuangan negara Perancis baru, berada di bawah kendalinya.
Disitulah tercipta ‘Bank de France’, yang menjadi bank nasional Kerajaan Perancis baru. Ini peristiwa yang seabad sebelumnya telah dilakukan tatkala Kerajaan Inggris keluar dari liga ‘Imperium Romanum Socrum.’ Para baron, meminjamkan uang senilai 25 juta Pound, kepada Raja William, yang sengaja dinikahkan oleh Ratu Mary I. Selepas Inggris keluar dari kekuasaan Gereja Roma. Dari situlah model ‘modern state’ tercipta. Maka, Raja William dan Napoleon di Perancis, sama sekali tak memiliki kendali uang di negerinya sendiri. Bisa dikatakan, mereka hanya pemimpin yang diciptakan elit bankir.
Revolusi Perancis hanya melahirkan ordo bankir sebagai penguasa atas modern state. Merekalah kaum Yahudi, yang sejak era Isa Allaihisallam bekerja sebagai pebisnis uang. Riba. Gejolak renaissance di Eropa, yang melahirkan modernisme, dijadikan loncatan bagi kekuasaan mereka. Tapi rakyat seolah diberikan hiburan dengan slogan ‘egalite-liberte-fraternite.’ Sebuah kebebasan palsu. Karena egalite, maknanya lepas dari hukum Tuhan. Liberte, merdeka dari kekuasaan atas ‘Kehendan Tuhan.’ Dan ‘fraternite,’ persaudaraan sesame pengikut ‘kehendak manusia.’ Slogan itu yang menjadi perlindungan kaum banker untuk menciptakan new world order: modern state.
Maka, mencuatnya modern state, sama sekali bukanlah kekuasaan berada di tangan rakyat. Melainkan sepenuhnya atas kendali bankir. Mereka yang menciptakan bank sentral, mesti hadir di setiap ‘state.’ Karena sejatinya, perihal ‘separation of power’ ala Montesquei, tak dikenal dengan bank sentral. Kekuasaan atas uang, jika merujuk pada era demokrasi Romawi, maka haruslah ditangan senat. Senat yang berhak untuk mencetak uang. Tapi modern state, pencetakan dan penerbitan uang, berada di luar kekuasaan senat. Malah berada diuar kendali ‘gouverment’ itu sendiri. Realitasnya, tak ada satu pun ‘state’ yang mampu mengatur nilai uangnya sendiri. Karena naik turun nilai uang, bukan ditentukan oleh cadangan emas. Melainkan diatur oleh laptop para bankir. Itu yang disebut banking system. Sebuah aturan yang disusun manusia, pasca revolusi industry. Karena industry paling top era modern adalah perbankan. Menjual uang, dengan tanpa modal apapun. Maka, slogan orang kaya, bukanlah siapa yang paling besar memiliki tambang, ataupun perusahaan sawit. Tapi merekalah para pemilik bank. 10 daftar nama orang terkaya setiap negara, itu hanya pengelabuan wujud mereka. Karena kaum bankir nyaris tak dikenal, tapi mereka memiliki kekuasaan atas kendali uang.
Modernisme ini memberi fakta, tak ada yang namanya ‘soverighnty’ seperti teori Bodin. Apalagi ‘trias politica’ ala Montesquei. Karena ‘central bank’ menjadi pilar keempat, yang independen dibanding eksekutif, legislative maupun yudikatif. Sentral bank memiliki kedudukan istimewa dalam ‘state.’ Walhasil, fenomena ‘kurs uang’ dan ‘utang nasional’, menjadi bagian tak terpisahkan dari modern state. Revolusi Inggris dan Revolusi Perancis- lah yang bisa memberi jawab mengapa hal itu bisa terjadi.
Fakta inilah yang disebut Dr. Ian Dallas, ulama besar dari Eropa, bahwa tak ada satupun negara di dunia kini yang layak disebut ‘republik.’ Karena Republik, sebagaimana digariskan Cicero, haruslah independen dalam pengaturan uang. Senat dan senator yang memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengatur uang. Kini, era modern state, senat justru hanya menjadi ‘koeli-koeli’ oligarki bankir. Wujud senat, dan partai politik, hanya bekerja untuk kepentingan bankir. Dalam istilah lain, inilah taipan. Mereka yang mengatur dan menguasai sentra-pokok ‘state.’
Kondisi ini bukanlah barang baru dalam peradaban. Era Romawi, pernah mengalami hal serupa. Romawi, pasca Julius Caesar, mengalami penurunan dalam fase republik. Kemudian berubah menjadi tirani kerajaan. Senat tak lagi dominan, untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Kaisar, berubah menjadi boneka. “Itu berlangsung sejak era Augustinus sebagai Kaisar,” terang Ian Dallas. Kala itu, sambungnya, Kaisar berada di bawah kendali ‘Legiun.’ Ini tentara perang Romawi yang sangat disegani. “Kini Legiun digantikan oleh banker,” tukasnya. Era itulah yang disebut dengan ‘okhlokrasi’. Bukan lagi layak disebut demokrasi.
Merujuk siklus Polybios, sejarawan Romawi, maka fase pasca demokrasi, akan berubah menjadi okhlokrasi. Selepas itu, peradaban akan kembali menjadi monarkhi. Imperium banker ini tengah berada dalam keruntuhan. Karena banking system mengalami kelemahannya sendiri. Maka, bak perulangan siklus, fase okhlokrasi ini akan kembali kepada monarkhi. Dan, bentuk monarkhi terbaik adalah Madinah al Munawarah.
Monarkhi yang dimaksud tentu bukan bak ‘the king can do no wrong’ sebagaimana fitnah Thomas Hobbes. Melainkan tatanan pemerintahan dengan personal rule. Bukan system rule seperti era kini. Manusia menjalankan pola pemerintahan berlandaskan hokum Tuhan. Bukan lagi merujuk reason law. Tatanan monarkhi ini yang berlangsung pasca kehancuran Romawi barat. Karena kehancuran imperium bankir, telah diambang mata. Karena ‘head of state’ sejatinya tak memerintah. Senat tak mengatur. Politisi telah lumpuh. Karena tak mampu mengatur uang-nya sendiri.
Dari sini keruntuhan finansial system, akan mengiringi ‘the fall of state.’ Karena mimpi ‘the welfare state’ hanyalah bualan modernitas. Tapi realitasnya adalah kembali pada fitrah. Bankir telah membentuk ‘state’ menjadi boneka untuk mengeruk keuntungan semata. ‘Ration d’etat’ dipergunakan demi kepentingan ‘bankir corporation.’ Hubbal wathon minal iman, bukanlah mesti membela kepentingan ‘bankir corporation’ yang bersembunyi dibalik ‘liberte-egalite-fraternite.’ Melainkan harus kembali pada fitrahnya.
Islam telah memiliki pranata untuk memberikan jalan keluar. Itulah pola yang merujuk Amal Ahlul Madinah. Madinah al Munawarah. Kepemimpinan, yang sejatinya mengatur perihal ‘kehendak Tuhan’, termasuk dalam otoritas keuangan. Jalan keluar dari jerat imperium banker ini adalah keluar meninggalkannya. Kembali pada yang Haq, maka yang bathil musnah. Imperium banker ini menciptakan pranata banking system dan turunannya. Itulah system riba.
Keluar dari jerat system riba ini, dimulai dengan menegakkan kembali Zakat. Sebagaimana perintah Allah Subhanahuwataala dalam Al Quran Surat Ar Rum. Ketika Zakat tegak, maka riba akan musnah. Insha Allah. Tegaknya Zakat, maka perlu Ulil Amri Minkum yang sejati. Bukan ‘pemimpin’ yang sejatinya tak berkuasa. Hilairre Belloc, sejarawan Inggris berkata, ‘Siapa mengendalilkan harta (uang), dialah penguasa.” Ketika ‘kurs uang’ dikendalikan bankir, maka merekalah sejatinya yang berkuasa. Maka, Ulil Amri Minkum harus kembali hadir di tengah umat, demi tegaknya rukun Zakat. Sebagaimana Sayidinna Abu Bakar as Shiddiq menjadikannya program utama kekhilafahan. Dari Zakat, maka akan lahir muamalah. Dari sanalah DIN Islam akan kembali menjawab masalah peradaban. Insha Allah.